TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Warga Sulawesi Utara (Sulut) mengonsumsi 600 ton cabai rawit per bulan. Kebutuhan tinggi tersebut dipenuhi lewat pasokan dari daerah penghasil cabai rawit.
"Konsumsi cabai rawit di Sulawesi Utara (Sulut) mencapai 600 ton per bulan," ujar Kabid Perdagangan Dalam Negeri Hanny Wajong.
Wajong menambahkan saat ini pihaknya hanya melakukan pemantauan terhadap ketersediaan cabai di pasaran. Jika pasokannya menurun, pihaknya akan mendatangkan cabai rawit dari luar Sulut seperti dari Gorontalo, Makassar dan Surabaya.
Oleh karena itu pemantauan harus dilakukan setiap hari untuk melihat pasokan bumbu dapur tersebut.
"Sedangkan untuk harga tidak bisa dikendalikan karena hal tersebut tergantung dengan pasar," ungkapnya.
Sedangkan mahalnya harga saat ini yang mencapai Rp 60 ribu per kilogram, karena memang pasokan berkurang. Kalau nantinya pasokan berkurang dan telah diluar ambang batas yang ditentukan, maka Disperindag akan mendatangkan cabai rawit dari luar daerah.
"Namun sampai saat ini masih belum perlu untuk mendatangkan cabai rawit dari luar," ungkapnya.
Kurangnya cabai rawit saat ini karena kemarau yang sedang melanda Sulut, sehingga produksi cabai rawit menjadi menurun.
"Kalau panas seperti sekarang ini, produksi cabai rawit menurun, sehingga harga menjadi naik," katanya.
Namun demikian hal tersebut diharapkan tidak berlangsung lama, karena produksi cabai rawit akan kembali normal kembali.
Tingginya harga cabai rawit membuat ibu rumah tangga mengeluh. Misalnya Maya, warga Bahu Lingkungan III. Jika biasanya ia membeli 1 kilogram cabai rawit setiap pekan, kini ia memilih membeli separuh saja dari biasanya.
"Habis kemahalan. Terpaksa takaran saat memasak dikurangi sedikit. Memang keluarga pemakan sambal tapi terpaksa dikurangi," jelasnya seraya berharap harga kembali normal.(erv)
0 comments:
Post a Comment