TRIBUNNEWS.COM - Satu setengah bulan pasca-erupsi, kondisi desa di kaki Kelud berangsur pulih. Perkampungan yang sempat tertutup material material vulkanik kini sudah relatif bersih. Gotong royong dan kebersamaan warga menjadi kunci cepatnya usaha pemulihan.
“Ayo lekas diturunkan. Hujan mulai turun,” kata Bambang memberi semangat belasan warga Desa Puncu, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, akhir pekan lalu.
Bambang adalah kepala Desa Puncu. Siang itu, ia sibuk memimpin warganya menurunkan asbes dari kendaraan. Asbes bantuan perusahaan swasta itu nantinya akan didistribusikan ke dusun-dusun untuk renovasi bangunan fasilitas umum dan sosial.
Puncu merupakan desa di Kecamatan Puncu yang paling parah terkena dampak erupsi. Ribuan penduduk di wilayah ini sempat mengungsi. Ribuan rumah rusak. Namun, kini rumah-rumah itu sudah bisa ditinggali.
Warga bersama tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, Polri, dan relawan bahu-membahu memperbaiki rumah penduduk.
Rehabilitasi dikebut untuk bangunan induk. Sedangkan untuk bangunan bagian dapur dan teras, warga melanjutkan dengan gotong royong bergantian dengan sesama tetangga.
“Warga yang berprofesi sebagai petani ini kan kebanyakan nganggurnya sekarang. Jadi, sehari-hari mereka membantu warga lain untuk merenovasi rumah yang rusak,” kata Bambang.
Kekompakan warga membuat pemulihan kawasan ini menjadi cepat. Sasaran diprioritaskan pada rumah dengan kerusakan terparah dan rumah-rumah milik lansia.
Di Dusun Laharpang, misalnya, relawan dan warga membangun kembali rumah milik warga yang dihuni lansia, anak-anak, dan perempuan. “Ini rumah milik Agus, remaja yang hidup bersama adiknya,” ujar Kabul, relawan asal Klaten, Jateng.
Rumah Agus sangat sederhana. Relawan dan warga membangun kembali rumah itu dengan memadukan dinding batako dan kayu. Rumah bercat biru itu kini dilengkapi sekat-sekat kamar. Untuk atapnya, relawan dan warga merenovasinya dengan memasang genting yang dikirim dari Klaten.
Hampir semua sasaran renovasi adalah atap yang hancur. Warga dan relawan harus mencari kayu untuk membangun rangka atap. Kemudian, rangka itu ditutupi sementara dengan terpal selama proses renovasi agar penghuni tidak kehujanan. Terpal sangat berguna lantaran pasokan genting juga sempat tersendat.
Menurut Mujiat, warga Laharpang, genting datang bergelombang. Itu pun tidak semuanya dari bantuan pemerintah. Banyak bantuan dari swasta yang didistribusikan langsung ke warga tanpa koordinasi dengan perangkat desa. Hasilnya, ada kawasan yang kekurangan genting karena tidak menjadi jujugan bantuan.
“Ada bantuan dari pihak Al-Azhar sebanyak 100.000 genting. Bantuan itu datang bertahap. Jadi, kami harus membagikan ke warga seadil-adilnya sesuai dengan jumlah genting yang datang,” ujar pria yang akrab disapa Kampret itu. Rata-rata, satu rumah membutuhkan 1000-2.500 genting tergantung tingkat kerusakannya.
Genting yang didistribusikan tidak mencukupi kebutuhan warga, sehingga warga harus memakai genting lama yang masih layak pakai. Mujiat dan para relawan lantas menghitung genting yang dibutuhkan warga sembari mendata jumlah genting lama yang masih bisa dipakai.
Dia bersyukur, meskipun jumlah genting sangat terbatas, tidak ada warga yang berebut. Bahkan, Mujiat terharu dengan warga yang mau mengalah kepada tetangga yang dinilai lebih membutuhkan genting dan tenaga relawan untuk renovasi rumahnya.
Setiap hari, warga bergiliran mendatangi rumah tetangga yang membutuhkan penanganan segera. Mereka sukarela membantu pemilik rumah dan relawan, meskipun rumahnya belum tersentuh renovasi. Rumah milik Mujiat termasuk yang belakangan disentuh renovasi.
Ribuan relawan dari sipil dan militer bekerja siang malam untuk membagun kembali rumah warga. Para relawan berjibaku bersama warga, memperbaiki atap satu rumah dalam dua sampai tiga hari.
“Cepat lambatnya renovasi tergantung pasokan material,” imbuh Kabul. (miftah faridl/eben haezer panca)
0 comments:
Post a Comment