Oleh: Alex Palit
Dalam politik dikenal adagium tak ada kawan dan lawan sejati, yang ada adalah kepentingan politik pragmatis. Disebutkan pula bahwa di politik juga tak ada yang tak ada, segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk sekalipun itu dilakukan dengan mengabaikan etika ‘kacang ojo lali lanjare’.
Bagi orang Jawa, pengenalan istilah atau filosofis ‘kacang ojo lali lanjare’ ini intinya mengajarkan kepada kita yang namanya etika dan moralitas. Lewat adagium ini setidaknya mengajarkan kearifan kepada kita hendaknya orang tidak lupa atau melupakan sejarah asal usulnya. Inilah pesan nilai kearifan yang terkandung dari adagium tersebut.
Adagium ‘kacang ojo lali lanjare’ ini bukan saja berlaku dalam kehidupan sosial, juga di politik, karena menyangkut etika moralitas seseorang dalam berpolitik. Lewat adagium ini pula akan mengajarkan kepada kita akan nilai etika dan moralitas seseorang terukur, karena hal ini juga menyangkut sebuah komitmen satunya kata dengan perbuatan. Dari adagium ini pula kita dapat melihat dan menilai sejauhmana seseorang memiliki dan memegang komitmennya atas ‘kacang ojo lali lanjare’.
Sebagai orang Jawa, pastinya Jokowi mengenal betul filosofi ‘kacang ojo lali lanjare’ untuk tidak lupa dengan sejarah asal usulnya dari walikota Solo diusung sampai akhirnya jadi orang nomor satu DKI Jakarta, untuk membenahi Jakarta.
Ketidak-komitmenan memegang komitmen ini tak heran bila kemudian memunculkan reaksi dan kritikan atas pencapresan Jokowi di Pilpres 2014 yang diusung oleh PDI Perjuangan. Tak ada satunya kata dengan perbuatan menjadi pemicu reaksi dan kritik atas pencapresan Jokowi karena dianggap telah mengabaikan etika politik demi kepentingan politis pragmatis.
Sebagai kader partai, Jokowi hanyalah anak wayang, apapun lakon yang diperankan semuanya tergantung kemauan, skenario dan kepentingan politik sang dalang. Tapi sebagai seorang pendekar politik, Jokowi hendaknya juga memegang teguh dan setia janji dengan komitmen yang ada dengan tidak mengabaikan etika moralitas politik demi kepentingan politik pragmatis.
Sementara kita adalah sebagai penonton yang berada di luar lapangan mencoba menilai dan memberi penilaian secara objektif atas realita politik yang ada. Karena bagaimanapun juga filosofi ‘kacang ojo lali lanjare’ adalah bagian dari pelajaran etika dan moralitas yang harus pula dipunyai calon pemimpin.
Itu salah satu hal pemahaman mendasar yang kemudian melatari atas munculnya reaksi dan kritikan diarahkan kepada gubernur DKI Jakarta atas pencapresan dirinya lantaran dianggap telah mengabaikan etika politik ‘kacang ojo lali lanjare’. Karena bagaimana pun juga etika dan moralitas politik ‘kacang ojo lali lanjare’ ini ikut dipertaruhkan dalam mencermati keberadaan sosok pemimpin antara satunya kata dengan perbuatan. Semoga!
* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”
0 comments:
Post a Comment