Friday, September 19, 2014

TKI Lulusan SMP di Korsel Gajinya Lebih Tinggi dari Profesor di Indonesia


TKI Lulusan SMP di Korsel Gajinya Lebih Tinggi dari Profesor di Indonesia
NET

ILUSTRASI







TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Menghadapi ASEAN Ekonomic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Indonesia harus segera berbenah, apakah akan menjadi negara produsen atau pasar bagi produk negara lain.


Demikian ditegaskan Prof Dr Ikrar Nusa Bakti, peneliti LIPI, saat menjadi pembicara pada seminar nasional bertema "Politik Indonesia Menuju MEA 2015" di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sam Ratulangi Manado, Jumat (19/9/2014).


Menurut Prof Ikrar, menghadapi MEA 2015 yang akan rencananya dimulai Desember 2015, Indonesia diperhadapkan dengan tantangan yang cukup berat untuk bersaing dengan negara ASEAN lainnya, yakni rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan daya saing industri nasional.


"Meskipun pada 2013 mengalami peningkatan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, ternyata masih lebih rendah dari IPM negara ASEAN lainnya," ungkapnya.


Kondisi tersebut tentu membutuhkan strategi politik yang tepat, di tengah mepetnya waktu yang tersisa, karena ketika MEA diberlakukan, tidak ada lagi sekat-sekat yang dapat menghalangi arus investasi, barang dan manusia dari satu negara negara lain yang ada di kawasan ASEAN.


"Jika kualitas SDM yang rendah ini tak dibenahi, maka Indonesia akan tertinggal dari negara lainnya, kalah bersaing dalam pasar kerja," ujarnya.


Namun, ada hal menarik dibalik rendahnya rendahnya kualitas SDM Indonesia dari sisi prosentase secara umum, karena ada juga hal yang cukup membanggakan bagi negara ini, ketika ada sejumlah anak bangsa ini bersinar pada sejumlah ajang kompetisi ilmu pengetahuan dan teknologi.


"Termasuk sebuah realita yang saya lihat ketika ke-Korsel, ada TKI lulusan SMP yang gajinya justru lebih tinggi dari pendapatan seorang profesor di Indonesia. Ini jelas luar biasa, karena tenaga terampil kita ternyata terpakai di negara lain dan diberi gaji yang cukup besar, bahkan melebihi gaji sarjana UI yang juga kerja di sana," tuturnya.


Menurutnya, Indonesia sebetulnya memiliki poteni untuk bersaing dengan negara ASEAN lainnya, karena berdasarkan data, prosentase kalangan masyarakat ekonomi menengah di Indonesia, ternyata sudah berkisar 50 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.


"Ditambah lagi dengan bonus demografi yang akan kita terima 2025 hingga 2050 nanti. Namun bonus demografi ini bila tidak disiapkan dari jauh, justru nanti akan jadi beban bagi negara," katanya.


Potensi prosentase 50 persen masyarakat ekonomi menengah itu, ditanggapi seorang akademisi Unsrat yang mengatakan, kecenderungan kalangan ekonomi menengah yang konsumtif pada produk asing, maka hal itu justru dinilai tidak akan memberi nilai tambah bagi kemajuan sektor industri dan jasa dalam negeri.


"Saya pikir sifat konsumerisme, kalangan ekonomi menengah terhadap produk luar, tidak memberi nilai tambah," ujar dosen Unsrat itu.


Sementara itu, mantan rektor Unsrat, Prof Lucky Sondakh yang juga tampil sebagai pembicara, ikut memaparkan konsep pasar bebas yang dianut oleh sejumlah kawasan, termasuk Eropa dan ASEAN. Pasar bebas menghendaki tidak adanya sekat yang membatasi arus barang, investasi dan manusia dari satu negara ke negara lain dalam satu kawasan.


Seminar tersebut dihadiri oleh Rektor Unsrat, Prof DR Ir Ellen Joan Kumaat MSc DEA, serta sejumlah wakil rektor, dekan dan Dosen Fisip dan FEB Unsrat. (tos)







0 comments:

Post a Comment