Laporan Wartawan Tribun Bali, Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUNNEWS.COM, BALI - Siapa yang menyangka limbah kulit ikan dapat mendatangkan rezeki jutaan rupiah. Itulah buah keuletan Nyoman Adi Arnaya. Sentuhan tangannya mengubah limbah kulit ikan seperti kakap merah, kakap putih, dan kulit ikan pari, menjadi sepatu, dompet, tas, dan produk lainnya.
ARNAYA mengaku awalnya tidak sengaja menggeluti bisnis ini. Sebelumnya dia bekerja di bidang water treatment pengolahan air di Denpasar untuk kemudian disalurkan ke hotel-hotel. Namun pada 2002 setelah peristiwa Bom Bali I, bisnisnya bangkrut.
Saat itu Arnaya berupaya mencari sesuatu untuk menghidupi keluarga karena perubahan ekonominya sangat ekstrim dan banyak orang merasakan hal yang sama.
"Dalam situasi stres, saya sering mancing ikan lele di Benoa untuk refreshing. Setiap kali ke sana, saya melihat banyak truk keluar dari kawasan Benoa membawa sampah kulit ikan," kenangnya.
Dia pun memegang kulit ikan tersebut, sembari berpikir apa yang bisa dilakukan dengan sampah itu. Dia kemudian mencari referensi dari berbagai buku terkait pengolahan kulit.
"Di Gramedia, ada buku membahas penyamakan kulit (tanning) biawak. Di situ saya tahu, kulit yang ada hanya seratnya yang dibutuhkan. Saya berpikir kulit ikan pun memiliki serat sehingga ini bisa diolah seperti kulit sapi dan kulit lainnya," ungkapnya.
Dari penjelasan buku itu, dia kemudian mencoba mengaplikasikannya ke kulit ikan, dengan keterbatasan finansial. Termasuk bahan kimia yang tidak dijual di Bali. Dia berusaha mengerjakan sendiri semua sesuai kemampuannya.
"Saya punya anak yang kuliah di Universitas Gajahmada. Melalui anak saya itu gagasan bisnis yang saya dikompetisikan. Akhirnya masuk 10 besar enterpreneurship challenge ITB," katanya.
Pada 2010 dia mengikuti acara Sampoerna Foundation, 2011 mendapat medali emas UKM Kewirausahaan dan terakhir 2014 menjadi pemenang Berani Jadi Miliader Episode Bali juara 1.
"Saat ini pasar produk kulit ikan kami di bawah nama Yeh Pasih Leather di Singaraja, menyasar domestik dan mancanegara. Sayangnya, ekspor ke Jepang, Prancis dan negara lainnya belum sepenuhnya terlayani karena masalah finansial. Permintaan banyak namun kami tidak bisa memenuhinya sehingga kontrak kerja terputus," kata pria berusia 52 tahun ini.
Namun setelah mendapat pengakuan dari akademis lewat menang lomba, kini kami dibina Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buleleng dan Dinas Perindustrian Kabupatem Buleleng.
"Kapasitas produksi kami masih kecil, 3.000 sampai 5.000 lembar kulit per bulan. Sedangkan yang mampu diproduksi 300 lembar karena masalah modal," ungkapnya.
Menurutnya, dengan 300 lembar kulit hanya bisa dipakai untuk membuat sepatu sampel saja. Permintaan sampel dan sepatu itu tidak bisa dipenuhi hingga saat ini. Dia mengaku omzetnya saat ini hanya Rp 10 juta sebulan karena produksinya sangat kecil.
"Kami juga sangat berterima kasih kepada Bank Indonesia sudah melibatkan kami dalam pameran. Banyak hal positif yang kami dapat, jadi lebih terkenal, dan bisa sharing antar UMKM. Saya berharap Bali bisa menjadi produsen kulit ikan terbesar," ungkapnya. (ida ayu made sadnyari)
0 comments:
Post a Comment