Sebenarnya, secara hukum prostitusi dilarang di Kota Adelaide, Australia. Namun, larangan itu tidak mencegah lebih dari 1000 pekerja seks menjajakan jasanya secara sembunyi-sembunyi. Inilah lika-likunya.
Seorang pekerja seks, Sharon Jennings, mengaku telah menjajakan jasanya lebih dari 10 tahun belakangan.
Ia mulai mengenal industri ilegal ini saat kuliah di salah satu universitas di Adelaide.
“Lebih dari kebutuhan mencari duit, pekerjaan ini justru menarik bagi saya," ujar Jennings.
Ia mengaku awalnya bekerja di salah satu tempat prostitusi namun belakangan memilih jalan sendiri.
Meskipun secara hukum pekerjaan yang dijalaninya termasuk ilegal di kota itu, namun Jennings justru mendaftarkan usahanya dengan badan usaha resmi, lengkap dengan nomor wajib pajaknya yang di Australia dikenal sebagai ABN (Australian Business Number).
"Saya selalu membayar pajak usaha," kata Jennings.
Setelah tujuh tahun menjalani usahanya itu, ia mulai mengenal LSM bernama Sex Industry Network (SIN). Kini ia menjadi manajernya.
“Sebenarnya melalui SIN ini kami mendapat dukungan penuh dari Departemen Kesehatan Australia Selatan namun tentu saja kami masih dikategorikan sebagai penjahat sehingga merupakan sumber masalah bagi kami," katanya.
Jennings menjelaskan, citra pekerja seks sebagai perempuan pecandu obat dan perokok yang berdiri di pojokan jalan, takut melapor ke polisi atas perlakuan dan tindak kekerasan yang mereka alami, bukanlah gambaran yang tepat.
“Masalah terbanyak di kalangan pekerja seks adalah rokok, bukan obat-obatan," katanya.
Meskipun saat ini masih ada segelintir pekerja seks yang menjajakan jasanya di pinggiran jalan di Adelaide, namun sebagian besarnya beroperasi dari rumah.
Menurut UU Tahun 1953, menjajakan seks bisa didenda 750 dollar dan mereka yang terbukti hidup dari hasil prostitusi bisa dipidana penjara enam bulan atau denda 2.500 dollar.
Sebaliknya, mereka yang membeli seks bisa dipidana penjara tiga bulan atau denda 1.250 dollar.
UU itu juga melarang pemilik tempat untuk menyewakan tempatnya demi tujuan perdagangan seks.
Media sosial
Menurut Jennings, media sosial seperti Twitter kini telah menjadi sarana bagi pekerja seks untuk menjajakan jasanya.
“Jumlah pekerja seks telah meningkat tajam sekarang," katanya.
“Saat saya mulai berdiri sendiri dan beriklan di website, jumlah pekerjanya hanya 36 orang. Sekarang di website itu sudah 300an orang menawarkan jasanya," kata Jennings.
Jennings mengakui, kalangan pekerja seks termasuk kelompok masyarakat yang paling cepat mendayagunakan kemajuan teknologi komunikasi.
Melalui Twitter misalnya, para pekerja seks di Australia Selatan bisa berkelit di antara aturan hukum yang ada.
Lain lagi cerita yang dialami Dominique, pekerja seks lainnya.
“Saya biasa saja, seperti remaja lainnya. Namun saya sebenarnya tidak aktif secara seksual sebagai remaja," katanya.
Menurut Dominique, pekerjaannya ini telah berkontribusi besar bagi masyarakat luas.
“Saya temukan sendiri, banyak orang yang benar-benar hanya melalui jasa kami ini, mereka bisa berhubungan badan atau memiliki hubungan intim dengan orang lain. Di luar sana, mereka tidak mendapatkannya," tuturnya.
Namun demikian, Dominique tak mau mengungkap pekerjaannya kepada teman apalagi orangtuanya.
Ia mengaku melayani dua atau tiga pelanggan dalam sehari.
Dominique menganggap pekerjaannya ini sama saja dengan jenis pekerjaan lainnya, dan ia pun sewaktu-waktu bisa meninggalkan dunianya itu dan mencari pekerjaan lainnya.
Sejauh ini telah dua kali upaya hukum dilakukan untuk melegalkan pekerja seks di Australia Selatan.
Upaya terakhir di tahun 2012 kalah di parlemen negara bagian itu dengan selisih satu suara.
Seorang anggota parlemen dari Partai Buruh, Steph Key, kini bersiap mengajukan RUU ketiga kalinya ke parlemen.
Manajer SIN, Sharon Jennings, berharap RUU yang akan melegalkan pekerja seks di Australia Selatan ini kini bisa diterima oleh parlemen.
0 comments:
Post a Comment